Fayakhun Andriadi: Indonesia Naif? Bagian Satu



           Fayakhun Andriadi mengungkapkan bahwa beberapa tahun lalu, rahasia pemerintah Australia yang menyadap pemerintah RI terungkap. Tentu, pemerintah dan rakyat Indonesia amat marah mengetahui perbuatan tercela tersebut. RI yang saat itu dipimpin oleh SBY ingin mencari teman sebanyak-banyaknya dan tidak ada musuh sama sekali. Akan tetapi pada kenyataannya, Indonesia malah menjadi sasaran tembak penyadapan. Bagaimana pandangan Fayakhun Andriadi selanjutnya? Silahkan disimak.
Semangat patriotisme merupakan subjektivitas yang tiada tara, karena ia begitu mudah diucapkan namun sukar dilaksanakan. Saking sulitnya, dalam kehidupan sehari-hari, seringkali kita perhatikan bagaimana kemudian patriotisme malah diwujudkan dalam pengertian yang amat sempit.
Bentuk kecintaan kita kepada bangsa bahkan seringkali hanya muncul tatkala timnas sepakbola atau tim bulu tangkis kita bertanding. Atau, saat ada negara lain yang secara tiba-tiba menodai kehormatan bangsa. Karena sifatnya yang subjektif inilah perasaan patriotisme pun kemudian menjadi mudah dipermainkan.
Ada banyak cara bagaimana orang menumbuhkan perasaan patriotisme, salah satunya adalah dengan memainkan perasaan patriotisme warganya. Termasuk dalam kasus penyadapan yang dilakukan oleh pihak Australia terhadap Presiden SBY dan para pejabat lainnya pada tahun 2009. Dalam kasus ini, patriotism warga negara Indonesia sekonyong-konyong menggelora, mendorong seseorang untuk melakukan perlawanan, baik dalam bentuk kecaman lewat media jejaring sosial, perang cyber, atau bahkan(kalau perlu) hingga memanggul senjata.
Sebagai sebuah subjektivitas, bentuk kemarahan Presiden SBY terhadap praktik tidak fair Australia terhadap Negara sahabatnya, Indonesia tentu saja wajar. Karena selama ini, Indonesia selalu berusaha menjaga hubungan baik dengan Australia. Apalagi kita semua tahu bila selama periode 2009-2010 tersebut, Presiden SBY begitu gencar mengkampanyekan perdamaian.
Kita tentu ingat dengan Pidato Kenegaraan Presiden SBY dalam rangka HUT RI ke-65, tanggal 16 Agustus 2010 di depan Sidang DPR dan DPD-RI. Dalam pidato tersebut, beliau dengan tegas mengatakan bahwa “Dalam dunia yang masih mencari bentuk ini, kita terus berpegang teguh pada politik luar negeri bebas aktif yang diabdikan pada kepentingan nasional. Sesuai amanat pembukaan UUD’45, kita terus berjuang untuk keadilan dan perdamaian dunia.”
Dalamkesempatan tersebut, beliau juga mulai memperkenalkan kebijakan politik luar negeri Indonesia ke segala arah, atau “all directions foreign policy”. Menurut Presiden SBY : “sejuta kawan, tanpa musuh”, “a million friends, zero enemy”.
Untuk meyakinkan orang akan jargon dan prinsip a million friends, zero enemy tersebut, Presiden SBY bahkan sampai meluncurkan sebuah album yang berjudul “Harmoni Alam, Cinta, dan Kedamaian.” Menurut Presiden, album tersebut merupakan ekspresi kecintaan sekaligus mimpi tentang perdamaian. “Harmoni dalam arti sesungguhnya adalah tatanan perdamaian yang terwujud dalam realitas kemajemukan,” ujar beliau.

Si Vis Pacem Para Bellum
Namun, secara objektif sikap Presiden SBY kepada Perdana Menteri Tony Abbott, yang juga memainkan perasaan patriotism kita tentu juga menjadi naif. Karena SBY yang hamper separuh hidupnya berada dalam dunia militer, tentu tahu betul dengan pepatah “Si Vis Pacem, Para Bellum”, (siapa menginginkan perdamaian, maka bersiaplah untuk berperang). Sangat mustahil bila Presiden SBY lupa dengan pepatah latin di atas, yang merupakan penyederhanaan dari kalimat aslinya, “Ignitur qui desiderat pacem, praeparet bellum”, yang dikutip dari karya seorang ahli militer Flavius Vegetius Renatus dalam kata pengantar buku De re militari.
Presiden SBY juga tentu tahu betul dengan prinsip dan doktrin Ius Ad Bellum, yang merupakan turunan dari pemikiran St. Agustine, yang melihat perang sebagai sesuatu kejahatan yang perlu dilakukan untuk menciptakan perdamaian (Wight, 1996). Sebuah pepatah latin yang tak berarti sepenuhnya menghimbau peperangan, namun bila dalam keadaan terdesak, maka perang merupakan alternatif terakhir (last resort).
Sejarah sebetulnya sudah mencatat dengan jelas, bila kolonialisme, kapitalisme, perang terbuka, perang ekonomi, perang energi, maupun perang cyber telah membuktikan bila “perdamaian hanya akan tercipta apabila semua pihak sama-sama berhitung dan takut satu sama lain.” Tak bermaksud menghidupkan kembali spirit proto-facis ala Machiaveli, namun realitasnya memang seperti itu.
Nyatanya, praktik penyadapan ini memang tak hanya ditujukan kepada para pejabat di Indonesia. Namun juga hamper kepada seluruh kepala negara di dunia. Dimana menurut data intelijen yang dibocorkan oleh Edward Snowden, NSA Amerika telah menyadap pembicaraan 35 kepala negara di dunia, dimana nomor kepala Negara diketahui setelah terlebih dahulu menyadap pejabat di bawahnya.
Praktik penyadapan yang dilakukan Amerika ini bahkan dilakukan kepada negara-negara yang selama ini dianggap sebagai Negara sahabatnya sendiri, seperti Jermandan Israel. Kanselir Jerman Angelina Merkel, bahkan sempat marah, karena nomornya ada dalam daftar yang disadap NSA.
Praktik sadap-menyadap seperti ini sebetulnya menjadi hal yang biasa, bahkan sesame negara yang sebelumnya menyatakan diri sebagai Negara sekutu, seperti antara Amerika dan Israel. Misalnya saja, Amerika Serikat yang pernah mengeluhkan praktik Mossad (Dinas Rahasia Israel) yang malah beroperasi di wilayah Amerika. Amerika bahkan pernah marah besar kepada Israel, karena peristiwa bom di sebuah barak militer AS di Libanon pada tahun 1983, yang menewaskan 299 marinir Amerika Serikat (Wallstret Journal, 2012). (bersambung).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fayakhun : Rendahnya Kualitas Guru

Fayakhun Andriadi Komentari Impor Alutsista

Faktor Pemicu Partisipasi Politik (bagian 2) Oleh: Fayakhun Andriadi